Pengaruh Penggunaan Pestisida Terhadap Lingkungan*
Frederik
K.L. **
Jurusan Kimia FMIPA UNM
Abstrak
Pestisida adalah suatu bahan kimia yang digunakan untuk membunuh atau
mengendalikan hama. Pestisida
dapat digolongkan berdasarkan fungsi mekanisme biologisnya atau metode
aplikasi. Setiap penggunaan
pestisida membawa beberapa resiko yang terkait. Penggunaan pestisida yang tepat mengurangi
risiko ini terkait ke tingkat yang dianggap dapat diterima oleh badan pengawas
pestisida seperti Amerika Serikat
Environmental Protection Agency (EPA) dan Badan Pengatur
Manajemen Hama (PMRA) dari Kanada. Pestisida
memegang peranan penting dalam melindungi tanaman, ternak, dan untuk mengontrol
sumber-sumber vektor penyakit (vector-borne
diseases). Penggunaan pestisida oleh petani tidak terelakan. Penggunaan
pestisida yang memiliki kandungan bahan aktif pada suatu lingkungan akan
menimbulkan kemungkinan terjadinya pencemaran air tanah oleh suatu kontaminan.
Kata kunci : Pestisida, bahan aktif, pencemaran, kontaminan, EPA.
Abstrack
Pesticide is a
chemical used to destroy or to control any pest that damages plant, animal,
etc. Pesticides
can be classified based upon their biological mechanism function or application
method. Each use of a
pesticide carries some associated risk. Proper pesticide use decreases these associated risks to
a level deemed acceptable by pesticide regulatory agencies such as the United States
Environmental Protection Agency
(EPA) and the Pest Management Regulatory Agency (PMRA) of Canada. Therefore, pesticide is very important for
protecting plant, animal, and in controlling vector-borne diseases. The use of
pesticide is therefore inevitable. The
used of pesticide an activated material on a environment can cause ground water
pollution. Copper as the largest composition on the activated material in
pesticide is a toxic and hazardous compounds therefore this research is needed
to find out the adsorption capability of soil with copper as a contaminant.
Mula-mula manusia membunuh hama secara sederhana yaitu dengan cara fisik dan mekanik sebagai bentuk reaksi pertahanan alami manusia. Namun dengan semakin luasnya daerah pertanian dan pertambahannya penduduk dunia cara-cara
sederhana
tersebut tak mampu membendung peningkatan populasi dan keganasan hama. Dengan
berkembangnya ilmu dan teknologi, kemudian dikembangkan cara-cara pengendalian
hama yang lebih efektif dibandingkan dengan metode fisik mekanik. Pengendalian
dengan cara baru dikembangkan dan digunakan seperti cara bercocok tanam
penggunaan jenis tanaman yang tahan terhadap hama parasitoid dan predator, dan
penggunaan bahan kimia organik. Sampai pada era Perang Dunia II praktek
pengendalian hama masih banyak dilandasi oleh bermacam-macam pengetahuan biologi
dan ekologi sehingga cara-cara pengendalian hama kurang memberikan dampak
negatif bagi lingkungan hidup dan keamanan kehidupan manusia. Tetapi metode
pengendalian yang digunakan pada saat itu masih dianggap kurang efektif dan
sering kurang praktis. Praktek pengendalian hama tersebut menjadi berubah drastis
setelah ditemukan dan digunakannya secara luas insektisida organik sintetik
sejak Perang Dunia II yang di mulai dengan DDT. Konsep pengendalian hama yang
sejak semula banyak berdasar pada pengetahuan biologi dan ekologi semakin
ditinggalkan dan diubah menjadi konsep pengendalian hama yang bertumpukan pada
penggunaan pestisida. Hal ini disebabkan karena pada permulaannya pestisida
menunjukkan hasil yang mengagumkan dalam efektifitas dan efisiensinya mengendalikan
hama dibandingkan cara-cara pengendalian sebelumnya. Pestisida ternyata sangat
efektif, praktis dan mendatangkan keuntungan ekonomi yang besar bagi petani.
Tak heran setelah tahun 1950-an penggunaan pestisida pertanian diseluruh dunia
semakin tinggi dan industri pestisida berkembang sangat cepat sehingga menjadi
industri yang memiliki kekuatan ekonomi dan politik banyak negara di dunia.
Sehingga timbul kesan dan pandangan seakan-akan bahwa keberhasilan pembangunan
pertanian tidak dapat dilepaskan dari jasa pestisida. Semakin banyak pestisida
digunakan semakin baik karena produksi pertanian menjadi semakin tinggi. Inilah
pandangan umum yang masih berlaku di dunia sampai saat ini termasuk juga
Indonesia.
Disamping segala keberhasilannya manusia semakin
merasakan dampak negatif pestisida yang semakin memprihatinkan rasa kemanusiaan
dan juga rasa
tanggungjawabnya
terhadap kelangsungan hidup manusia di biosfer ini. Bukti-bukti semakin
berdatangan tentang banyak korban pestisida baik binatang berharga, ternak dan
manusia sendiri. Residu pestisida pada makanan dan lingkungan semakin
menakutkan manusia (Anonimous, 1993).
Pasal
1 Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1973, tentang “ Pengawasan atas Peredaran
dan Penggunaan Pestisida” yang dimaksud dengan Pestisida adalah sebagai berikut
;
“ Semua zat kimia dan bahan lain serta
jasad renik dan virus yang digunakan untuk memberantas atau mencegah hama-hama
dan penyakit-penyakit yang merusak tanaman, memberantas rerumputan, mematikan
daun dan mencegah pertumbuhan yang tidak diinginkan, mengatur atau merangsang
pertumbuhan tanaman atau bagian-bagian tanaman tidak termasuk pupuk, memberantas
atau mencegah hama-hama air, memberantas atau mencegah binatang-binatang yang
dapat menyebabkan penyakit pada manusia atau binatang yang perlu dilindungi
dengan penggunaan pada tanaman, tanah dan air”
menimbulkan dampak
negatif yang tidak diinginkan. Dampak negatif tersebut akan menimbulkan
berbagai masalah baik secara langsung ataupun tidak, akan berpengaruh terhadap
kesehatan dan kesejahteraan manusia seperti keracunan. Dampak negatif yang
terjadi dari penggunaan pestisida pada pengendalian hama adalah keracunan, khususnya
para petani yang sering/ intensif menggunakan pestisida. (BIMAS, 1990).
B.
PEMBAHASAN
Pestisida
sebagai salah satu agen pencemar ke dalam lingkungan baik melalui udara, air
maupun tanah dapat berakibat langsung terhadap komunitas hewan, tumbuhan
terlebih manusia. Pestisida yang masuk ke dalam lingkungan melalui beberapa
proses baik pada tataran permukaan tanah maupun bawah permukaan tanah. Masuk ke
dalam tanah berjalan melalui pola biotransformasi dan bioakumulasi oleh
tanaman, proses reabsorbsi oleh akar serta masuk langsung pestisida melalui
infiltrasi aliran tanah. Gejala ini akan mempengaruhi kandungan bahan pada
sistem air tanah hingga proses pencucian zat pada tahap penguraian baik secara
biologis maupun kimiawi di dalam tanah.
Proses
pencucian (leaching) bahan-bahan kimiawi tersebut pada akhirnya akan
mempengaruhi kualitas air tanah baik setempat dan maupun secara region dengan
berkelanjutan. Apabila proses pemurnian unsur-unsur residu pestisida berjalan
dengan baik dan tervalidasi hingga aman pada wadah-wadah penampungan air tanah,
misal sumber mata air, sumur resapan dan sumur gali untuk kemudian dikonsumsi
oleh penduduk, maka fenomena pestisida ke dalam lingkungan bisa dikatakan aman.
Namun demikian jika proses tersebut kurang berhasil atau bahkan tidak berhasil
secara alami, maka kondisi sebaliknya yang akan terjadi. Penurunan kualitas air
tanah serta kemungkinan terjangkitnya penyakit akibat pencemaran air merupakan
implikasi langsung dari masuknya pestisida ke dalam lingkungan.
Aliran
permukaan seperti sungai, danau dan waduk yang tercemar pestisida akan
mengalami proses dekomposisi bahan pencemar. Dan pada tingkat tertentu, bahan
pencemar tersebut mampu terakumulasi hingga dekomposit.
Pestisida
di udara terjadi melalui proses penguapan oleh foto-dekomposisi sinar matahari
terhadap badan air dan tumbuhan. Selain pada itu masuknya pestisda diudara
disebabkan oleh driff yaitu proses penyebaran pestisida ke udara melalui
penyemprotan oleh petani yang terbawa angin. Akumulasi pestisida yang terlalu
berat di udara pada akhirnya akan menambah parah pencemaran udara. Gangguan
pestisda oleh residunya terhadap tanah biasanya terlihat pada tingkat kejenuhan
karena tingginya kandungan pestisida persatuan volume tanah. Unsur-unsur hara alami
pada tanah makin terdesak dan sulit melakukan regenerasi hingga mengakibatkan
tanah tanah masam dan tidak produktif.
Batas Toleransi Pestisida. Setiap
perusahaan pestisida yang akan mengedarkan produknya untuk diaplikasikan ke tanaman
diharuskan mendaftarkan pada komisi pestisida (Pesticide Commission), di
Amerika di tangani oleh Badan Perlindungan Lingkungan (EPA/Environmental
Protection Association). Sedangkan di Indonesia ditangani oleh Komisi
Pestisida dibawah Departemen Pertanian.
Keputusan
lembaga untuk mengizinkan pemakaian pestisida tergantung pada evaluasi dari
resiko dan kegunaan kimia. Resiko meliputi kemampuan dalam menimbulkan pengaruh
yang merugikan terhadap kesehatan seperti kanker, cacat lahir, kerusakan
syaraf, atau mutasi genetik, seperti juga pengaruh yang merusak lingkungan
seperti membahayakan kehidupan liar atau pencemaran air tanah. Adapun
kegunaannya terutama dalam upaya mempertahankan hasil pertanian.
Dibawah ketentuan Undang-undang Makanan, Minuman
dan Kosmetik Federal (FFDCA), maka EPA menetapkan batas toleransi terhadap
pestisida yang didaftarkan untuk dipakai pada makanan berdasarkan dua prinsip
dasar: batas toleransi harus melindungi kesehatan masyarakat dan harus
ditetapkan pada aras yang tidak lebih tinggi dari pengendalian hama yang
diperlukan. Batas toleransi adalah jumlah maksimal dari residu pestisida (dalam
part per million – ppm atau miligram
per
kilogram (mg/kg) yang diijinkan terdapat pada makanan
pada saat dijual. Dalam penentuan batas toleransi, EPA membandingkan potensi
pemaparan terhadap pestisida dengan pemaparan maksimal diijinkan secara
toksikologi terhadap substansi; potensi pemaparan harus tidak melebihi batas
maksimal yang diijinkan, atau pemaparan yang “aman”. EPA dapat pula memberikan
pengecualian dari batas toleransi untuk pestisida yang digunakan pada makanan
bila tidak ada aras pestisida yang mungkin muncul pada makanan, atau bila EPA
memutuskan bahwa tidak ada resiko yang berhubungan dengan pemaparan manusia
terhadap residu.
EPA
memperhitungkan pemaparan maskimal yang diijinkan bagi pestisida dari data
toksikologi yang diberikan oleh perusahaan kimia. Dari data ini, didapatkan
Aras Pengaruh yang Tidak Dapat Diteliti (No Observable Effect Level, NOEL)
– atau jumlah yang diberikan kepada hewan percobaan yang tidak menyebabkan
pengaruh yang merugikan (seperti tumor, cacat lahir atau kerusakan syaraf) yang
diteliti pada aras dosis tertinggi.
Penggunaan
pestisida yang tinggi dalam penanganan hama dan penyakit pada umumnya tidak
lepas dari paradigma lama yang memandang keberhasilan pertanian atau peningkatan
produksi sebagai wujud peran pestisida. Penggunaan pestisida dalam mengatasi
organisme pengganggu tanaman telah membudaya dikalangan petani. Hal yang sangat
memprihatinkan menurut Pimentel dan Khan (1997) adalah penampilan produk “Cosmetic
Appearance” yang masih merupakan faktor utama bagi konsumen dalam menilai
kualitas produk pertanian. Sementara itu konsumen tidak banyak diberikan
penerangan tentang ukuran kualitas yang lebih mendasar seperti nilai gizi dan
residu pestisida. Hingga saat ini konsumen menilai kualitas produk-produk
hortikultura didasarkan pada penampakan akan kemolekkannya. Jika dikaji lebih
lanjut, keutuhan dan kesegaran produk hortikultura di pasar yang disediakan
oleh produsen masih harus dipertanyakan lagi. Pestisida sebagai alternatif
utama untuk mewujudkan impiannya, produknya cepat terjual dengan harga yang
dapat bersaing sehingga keuntungan maksimal dapat dicapai.
Penggunaan
pestisida yang dilakukan oleh petani hortikultura pada umumnya tidak lagi
mengindahkan aturan dosis/konsentrasi yang dianjurkan. Sulistiyono (2002),
ketepatan dosis penggunaan pestisida oleh petani bawang merah yang telah
mengikuti SLPHT (Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu) di Kabupaten
Nganjuk; 4,17 % tepat dan 95,83 % tidak tepat, sedangkan pada petani Non SLPHT
1,04 % tepat dan 98,96% tidak tepat.
Penggunaan
pestisida yang demikian itu telah menimbulkan dampak ekologis yang sangat
serius. Sulistiyono (2002), penggunaan insektisida yang tidak sesuai dengan
aturan yang telah ditetapkan pada tanaman bawang merah telah meningkatkan
tingkat resistensi hama Ulat (Spodoptera, sp) sebagai hama utama, dan
ledakan Leromyza. Sp. (hama sekunder), disisi lain telah memusnahkan
berbagai hewan dan serangga predator seperti Laba-laba (Aranaeus inustus,
Argiope sp, Lycosa pseudoannulata dan Oxyopes javanicus). Kondisi kerusakan ekologis inilah
mengakibatkan munculnya dorongan petani untuk meningkatkan penggunaan pestisida
berlebihan, bahkan melakukan self inovation untuk memperoleh formulasi
pestisida yang cocok untuk memberantas hama maupun penyakit pada tanamannya.
Husni (2007), Penggunaan
pestisida nabati merupakan pestisida yang bahan dasarnya berasal dari
tumbuhan. Pestisida nabati relatif mudah dibuat dengan penggunaan bahan-bahan
yang ada di sekitar kita, salah satunya tumbuhan liar Babadotan (Ageratum
conyzoides L.) dan Bawang Putih (Alium sativum). Pertanian
organik berusaha meminimalkan dampak negatif bagi alam sekitar, seperti
penggunaan pestisida yang ramah lingkungan. Penerapan pestisida nabati adalah
salah satu bentuk teknologi yang belum banyak diketahui masyarakat petani.
Berdasarkan uraian ini, maka perlu adanya evaluasi penyuluhan dan analisis
usahatani penggunaan pestisida nabati babadotan (Ageratum conyzoides)
pada hama wereng coklat tanaman padi (Oryza sativa L.) di
Desa Kayuloe Barat, Kecamatan Turatea, Kabupaten Jene-ponto, Provinsi Sulawesi
Selatan. Teknologi penggunaan pestisida Babadotan dalam pengendalikan hama
wereng coklat tanaman padi, jika ditinjau dari segi ekonomi sangat membantu
petani karena dengan adanya teknologi
ini
dapat menekan penggunaan pestisida kimia yang harganya sudah semakin melonjak.
Putra
Manuaba (2007). Dari data hasil analisis laboratorium,penentuan residu cemaran
pestisida pada sedimen Danau Buyan didapatkan bahwa pada air Danau Buyan
terkandung residu cemaran pestisida. Residu cemaran pestisida yang didapatkan
adalah dimetoat, klorpirifos, dan profenofos dari golongan fosfat-organik.
Pencemaran
dari residu pestisida sangat membahayakan bagi lingkungan dan kesehatan,
sehingga perlu adanya pengendalian dan pembatasan dari penggunaan pestisida
tersebut serta mengurangi pencemaran yang diakibatkan oleh residu pestisida.
Seorang yang terpapar pestisida dapat memperlihatkan lebih dari
satu gejala penyakit. Beberapa gejala timbul langsung setelah seseorang
terpapar, sementara gejala lainnya tidak terlihat sampai beberapa jam, beberapa
hari, atau bahkan beberapa tahun kemudian. Beberapa orang dapat terpapar
pestisida tanpa disadari. Pekerja pencucian pakaian, petugas kebersihan
pemungut dan daur ulang sampah, serta orang lainnya yang kontak langsung dengan
pestisida juga terancam bahaya keracunan seperti halnya para buruh tani. Mereka
harus menyadari akan adanya pestisida di lingkungan mereka dan mereka harus
melakukan tindakan pencegahan sama seperti para buruh tani. Keracunan
pestisida tidak hanya dapat terjadi karena paparan langsung oleh pestisida
(menghirup, terkena percikan atau menyentuh sisa pestisida), yang umumnya sudah
diketahui oleh banyak orang. Tetapi keracunan bisa terjadi pula, lantaran
manusia mengkonsumsi bahan-bahan makanan yang mengandung residu pestisida dalam
jumlah yang cukup tinggi, melibihi suatu batas maksimal. Residu pestisida yang
terdapat dalam hasil-hasil tanaman berasal dari pestisida yang langsung
diaplikasikan pada tanaman ( untuk mengatasi hama dan penyakit tanaman ). Di
Indonesia kadar residu pestisida yang terkandung dalam bahan pangan cukup
memprihatinkan.
Dampak secara tidak langsung dirasakan oleh
manusia, oleh adanya penumpukan pestisida di dalam darah yang berbentuk
gangguan metabolisme enzim
asetilkolinesterase
(AChE), bersifat karsinogenik yang dapat merangsang sistem syaraf
menyebabkan parestesia peka terhadap perangsangan, iritabilitas, tremor,
terganggunya keseimbangan dan kejang-kejang (Frank C. Lu, 1995).
Pestisida dapat meracuni manusia yang sedang berada dekat
ataupun yang sedang menggunakan pestisida, dengan berbagai cara kontaminas,
diantaranya :
1.
Melalui kulit dengan jalan terkena langsung
ataupun melalui pakaian yang terkena pestisida.
2.
Melalui pernafasan, hal ini sering kali terjadi pada
petani yang langsung menyemprot pestisida atau pada orang yang berada disekitar
tempat penyemprotan.
3.
Melalui mulut dengan jalan ketika seseorang meminum air
yang telah tercemar atau makan dengan tangan tanpa mencuci tangan terlebih
dahulu setelah berurusan dengan pestisida.
Efek
yang dapat ditimbulkan oleh penggunaan pestisida berlebih yaitu Penggunaan
pestisida dapat menimbulkan dampak yang negatif, baik itu bagi kesehatan
manusia maupun bagi kelestarian lingkungan. Oleh karena itu, penggunaannya
harus dilakukan sesuai dengan aturan.
Dampak negatif ini akan terus terjadi seandainya kita tidak
hati-hati dalam memilih jenis dan cara penggunaannya. Adapun dampak negatif
yang mungkin terjadi akibat penggunaan pestisida diantaranya :
1. Tanaman
yang diberi pestisida dapat menyerap pestisida yang kemudian terdistribusi ke
dalam akar, batang, daun, dan buah. Pestisida yang sukar terurai akan berkumpul
pada hewan pemakan tumbuhan tersebut termasuk manusia. Secara tidak langsung
dan tidak sengaja, tubuh mahluk hidup itu telah tercemar pestisida. Bila
seorang ibu menyusui memakan makanan dari tumbuhan yang telah tercemar
pestisida maka bayi yang disusui menanggung resiko yang lebih besar untuk
teracuni oleh pestisida tersebut daripada sang ibu. Zat beracun ini akan pindah
ke tubuh bayi lewat air susu yang diberikan. Dan kemudian racun ini akan
terkumpul dalam tubuh bayi (bioakumulasi).
2. Pestisida
yang tidak dapat terurai akan terbawa aliran air dan masuk ke dalam sistem
biota air (kehidupan air). Konsentrasi pestisida yang tinggi dalam air dapat
membunuh organisme air diantaranya ikan dan udang. Sementara dalam kadar rendah
dapat meracuni organisme kecil seperti plankton. Bila plankton ini termakan
oleh ikan maka ia akan terakumulasi dalam tubuh ikan. Tentu saja akan sangat
berbahaya bila ikan tersebut termakan oleh burung-burung atau manusia. Salah
satu kasus yang pernah terjadi adalah turunnya populasi burung pelikan coklat
dan burung kasa dari daerah Artika sampai daerah Antartika. Setelah diteliti
ternyata burung-burung tersebut banyak yang tercemar oleh pestisida organiklor
yang menjadi penyebab rusaknya dinding telur burung itu sehingga gagal ketika
dierami. Bila dibiarkan terus tentu saja perkembangbiakan burung itu akan
terhenti, dan akhirnya jenis burung itu akan punah.
3. Ada
kemungkinan munculnya hama spesies baru yang tahan terhadap takaran pestisida
yang diterapkan. Hama ini baru musnah bila takaran pestisida diperbesar
jumlahnya. Akibatnya, jelas akan mempercepat dan memperbesar tingkat pencemaran
pestisida pada mahluk hidup dan lingkungan kehidupan, tidak terkecuali manusia
yang menjadi pelaku utamanya.
Upaya mengurangi efek negatif pestisida. Ada beberapa langkah
untuk mengurangi residu yang menempel pada sayuran, antara lain dengan
mencucinya secara bersih dengan menggunakan air yang mengalir, bukan dengan air
diam. Jika yang kita gunakan air diam (direndam) justru sangat memungkinkan
racun yang telah larut menempel kembali ke sayuran. Mencuci sayur sebaiknya
jangan lupa membersihkan bagian-bagian yang terlindung mengingat bagian ini pun
tak luput dari semprotan petani. Untuk kubis misalnya, lazim kita lihat petani
mengarahkan belalai alat semprot ke arah krop (bagian bulat dari kubis yang
dimakan) sehingga memungkinkan pestisida masuk ke bagian dalam krop.
Selain
pencucian, perendaman dalam air panas (blanching)
juga dapat menurunkan residu. Ada baiknya kita mengurangi konsumsi sayur yang
masih mentah karena diperkirakan mengandung residu lebih tinggi dibanding kalau
sudah
dimasak terlebih dulu. Pemasakan atau pengolahan baik dalam
skala rumah tangga atau industri terbukti dapat menekan tekanan kandungan
residu pestisida pada sayuran.
Agar senyawa pestisida aman digunakan dan tidak terlalu
menimbulkan efek keracunan pada pemakai, maka pemerintah dan formulator telah
menetapkan dan memberi petunjuk sebagai pedoman umum dalam penanganan senyawa
kimia berbahaya. Mulai dari pemilihan jenis pestisida, tata cara penyimpanan,
penakaran, pengenceram, pencampuran sampai kepada prosedur kebersihannya.
Pestisida alami itu adalah bahan-bahan yang berasal dari
alam. Ia memanfaatkan jenis tumbuhan yang memiliki kelebihan mengusir hama,
penyakit, dan binatang,Pestisida alam ini dikenal juga dengan pestisida nabati.
Merupakan bahan aktif tunggal atau majemuk yang berasal dari tumbuhan yang bisa
digunakan untuk mengendalikan organisme pengganggu tumbuhan. Pestisida nabati
ini bisa berfungsi sebagai penolak, penarik, antifertilitas (pemandul),
pembunuh dan bentuk lainnya. Secara umum, pestisida nabati diartikan sebagai
suatu pestisida yang bahan dasarnya dari tumbuhan yang relatif mudah dibuat
dengan kemampuan dan pengetahuan terbatas. Karena terbuat dari bahan alami atau
nabati, maka jenis pestisida ini bersifat mudah terurai (bio-degradable) di alam,
sehingga tak mencemari lingkungan dan relatif aman bagi manusia dan ternak
peliharaan, karena residu (sisa-sisa zat) mudah hilang.
KESIMPULAN
Pestisida
adalah bahan-bahan kimia yang tidak terlepas dari penggunaannya untuk
mengendalikan hama dan jasad pengganggu lainnya. Hingga saat ini ketergantungan
petani terhadap pestisida semakin tinggi untuk menghasilkan kuantitas dan
kualitas produk. Hal tersebut menyebabkan keseimbangan ekologis yang tidak
sempurna ( populasi hama tinggi, musuh alami semakin punah ).
Pestisida tidak saja membawa dampak yang positif
terhadap peningkatan produk pertanian, tapi juga membawa dampak negatif
terhadap lingkungan di
sekitarnya.
Pengarahan dan penggunaan yang lebih tepat kepada para penggunaan dalam hal
pemberian dosis, waktu aplikasi, cara kerja yang aman, akan mengurangi
ketidakefisienan penggunaan pestisida pada lingkungan dan mengurangi sekecil
mungkin pencemaran yang terjadi. Di sisi lain penggunaan pestisida membawa
bencana yang sangat hebat terhadap kesehatan petani dan konsumen akibat
mengkonsumsi produk yang mengandung residu. Dampak lain yang tidak kalah
penting adalah timbulnya pencemaran air, tanah dan udara yang dapat mengganggu
sistem kehidupan organism lainnya.
Di
masa yang akan datang diharapkan penggunaan pestisida akan berkurang dan lebih
selektif dan didukung oleh adanya penemuan-penemuan baru yang lebih efektif
dalam mengatasi gangguan dari jasad penggangg ini.
DAFTAR PUSTAKA
Anonimous, 1993.
Prinsip-prinsip Pemahaman Pengendalian
Hama Terpadu. Konsep Pengendalian Hama Terpadu. Direktorat Jenderal Tanaman
Pangan dan Direktorat Bina Perlindungan Tanaman.B.I. Jakarta.
Bimas, 1990.
Surat Keputusan Menteri Pertanian/Ketua Badan Pengendali BIMAS.
Faedah, A.
Gayatri, Koesnadi dan Y. Chan, 1993. Awas pestisida “Ngendon” dalam
Makanan Kita. Majalah Terompet (Teropong Masalah Pestisida), Edisi IV Jakarta :
Pesticide Action Network (PAN)- Indonesia.
Frank C. Lu.
1995, Toksikologi Dasar (Azas, Organ
Sasaran dan Penilaian Resiko) Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia.
Putra Manuaba,
I. B.. 2007. Cemaran Pestisida Klor-Organik pada Air Danau Buyan Buleleng Bali.
Jurnal Kimia (Journal of Chemistry).
Sulistiyono,
2002. Pengetahuan, Sikap dan Tindakan Petani Bawang Merah dalam Penggunaan
Pestisida. (Kasus di Kabupaten Nganjuk Propinsi Jawa Timur). Thesis Program Pascasarjana. IPB.
Taba, Husni.
2007. Evaluasi Penyuluhan Dan Analisis
Usahatani Penggunaan Pestisida Nabati Babadotan (Ageratum conyzoides)
Pada Hama Wereng Coklat (Nilaparvata lugens stal). Jurnal
Agrisistem.
min, apakah ada takaran standard untuk penggunaan pestisida bagi tumbuhan?
BalasHapus